Rabu, 27 April 2016

MAKALAH
Ilmu Budaya Dasar
"Perbandingan Budaya Indonesia vs Budaya Jepang dan cina"


Dibuat Oleh :
Arjuna Cesa A (51415029)
Kelas 1IA08

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Dosen : Edi Fakhri

1. Apakah perbandingan budaya itu ?
Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional[1]. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.
Bahasan dalam makalah ini dibatasi pada perbandingan budaya Indonesia dan Jepang dari segi-segi sbb. : “nama dan tanda tangan”, “cara pemakaian gesture untuk penghormatan kepada yang lebih tua/dihormati”.
Jepang : 

Budaya Harakiri. Harakiri adalah kebiasaan orang Jepang jika mengalami kekalahan atau melakukan kesalahan yang memalukan. Mari kita lihat sisi positif dan negatifnya. Pada zaman dahulu, Harakiri dilakukan saat seseorang kalah berduel. Tidak tahan menanggung malu. Memang terdengar seperti orang yang memiliki kepribadian yang lemah dan dosa hukumnya jika bunuh diri, tetapi maksud sebenarnya adalah untuk menjaga kehormatan. Daripada dibunuh atau diampuni lalu hidup terhina, lebih baik berbesar hati mengakui kekalahan lau mati dengan terhormat. Sampai sekarang, harakiri masih ada di kehidupan orang Jepang. Lihat saja para koruptor Jepang yang pasti mati bunuh diri karena tak sanggup menahan malu. Padahal mereka korupsi untuk membiayai kebutuhan partai. Tidak seperti di Indonesia masuk rekening pribadi. Inilah yang menyebabkan Jepang tidak masuk dalam 10 Negara Asia terkorup versi metro10. Atau kisah saat pertempuran Jepang- Amerika di Pulau Iwo Jima. Tentara Jepang hanya ada 22000 dan Amerika 100000. Dilihat dari jumlah sudah pasti kalah. Tapi baik jendral maupun prajurit tidak ada yang mau menyerah. Mereka tetap bertempur walaupun sudah tahu apa hasilnya. Dan bagi mereka yang berhasil selamat, akan langsung menancapkan pisau ke perut mereka alias Harakiri. Kalau kita, baru ditodong kompeni sudah bilang “Ampun menir.” Bahkan, para pilot yang selamat dalam pertempuran usai perang ini, langsung kembali ke Jepang dan bunuh diri di tempat pendaratan. Dan diyakini mereka menjadi hantu dan membuat tempat pendaratan mereka salah satu tempat terangker di Jepang. Intinya mereka itu tahu malu, disiplin, dan cinta negara. Tidak seperti koruptor kita yang masih bisa senyum-senyum disorot kamera TV dan tidak mengaku salah. Mereka juga tidak terbiasa dengan budaya jam karet.

A. Tradisi penamaan di Jepang : 

Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga.

Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki.
Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga.
Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie” dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami.
Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

B. Tradisi penamaan di Indonesia:
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
  • Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
  • Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
  • Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
  • Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
  • Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
C. Tradisi Penamaan di China : 

Kebudayaan China ialah penempatan kepada salah satu tamadun tertua dan paling kompleks yang meliputi sejarah lebih 5,000 tahun. Negara China meliputi kawasan geografi besar yang penuh adat dan tradisi yang banyak berbeza antara pekan, bandar dan wilayah.
Kebudayaan kuno China dimulai pada massa kaisar T'ang dinasti Syang yang berlangsung selama tahun 1766- 1122 SM. Pada zaman dinasti ini berkembang semacam feodalisme, selain kaisar yang berkuasa di pusat wilayah ada pula bangsawan- bangsawan yang memerintah di daerah- daerah pesisir .

Pada zaman dinasti Cou seorang raja atau kaisar disebut "Putra langit" yang di percaya sebagai dewa tertinggi alam semesta. Sistem pemerintahan masih sama dengan sistem pemerintahan sekarang, jika seorang raja bekerja dengan baik maka akan di dukung penuh oleh rakyat begitu pun sebaliknya.
Bahasa Cina lisan terdiri daripada sebilangan dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa Mandarin baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman Republik China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil yang nyata dalam memupuk satu bahasa seragam di China.

Pada zaman kuno, bahasa Cina Klasik menjadi standard penulisan selama beribu-ribu tahun, tetapi banyak terhad kepada golongan sarjana dan cendekiawana. Menjelang abad ke-20, jutaan rakyat, termasuk yang di luar kerabat diraja buta huruf. Hanya selepas Gerakan 4 Mei baru bermulanya usaha beralih ke bahasa Cina Vernakular yang membolehkan rakyat biasa membaca kerana dirangka berasaskan linguistik dan fonologi bagi suatu bahasa lisan.Sebahagian besar budaya Cina berasaskan tanggapan bahawa wujudnya sebuah dunia roh. Berbagai-bagai kaedah penelahan telah membantu menjawab soalan, dan dijadikan pun alternatif kepada ubat. Budaya rakyat telah membantu mengisi kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin, Maharaja Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional Cina. Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan secara turun-temurun. Upacara penilikan nasib Cina masih diamalkan pada hari ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan.

Alat Musik Tradisional Alat musik tradisional Cina secara sederhana dapat digolongkan sebagai berikut: Alat musik gesek Erhu = Rebab China, badannya menggunakan kulit ular sebagai membran, menggunakan 2 senar, yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor kuda Gaohu = Sejenis dengan Erhu, hanya dengan nada lebih tinggi Gehu = Alat musik gesek untuk nada rendah, seperti Cello Banhu = Rebab China, dengan badan terbuat dari batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya Alat musik petik Alat musik ini memiliki banyak senar, cara memainkannya dengan memukul Liuqin = Alat musik petik kecil bentuknya seperti buah pir dengan 4 senar Yangqin = dengan stik bambu sebagai pemukulnya Pipa = Alat musik petik berbentuk buah pir dengan 4 atau 5 senar Ruan = Alat musik petik berbentuk bulat dengan 4 senar Sanxian = Alat musik petik dengan badan terbuat dari kulit ular dan dengan leher panjang, memiliki 3 senar Guzheng = Kecapi yang memiliki 16 - 26 senar Konghou = Harpa China Alat musik tiup Dizi = Suling dengan menggunakan membran getar Suona = Terompet China Sheng = Alat musik yang menggunakan bilah logam dengan tabung-tabung bambu sebagai penghasil suara Xiao = Suling Paixiao = Pipa pen Alat musik pukul ( perkusi ) Paigu = Gendang yang terdiri dari satu set 4 atau lebih. Dagu = Tambur besar. Chazi = Simbal, cengceng. Luo = Gong. Muyu = Kecrek terbuat dari kayu.

Pakaian bangsa China Sejarah kehadiran kaum China bermula dengan berkembangnya Melaka sebagi pusat perdagangan, diikuti Pulau Pinang dan Kula Lumpur. Kehadiran mereka ini membawa bersama bukan sahaja barangan dagangan untuk tukaran, tetapi jua adat resam, budaya dan corak pakaian tradisional mereka yang kemudiannya disesuaikan dengan suasana tempatan. Busana klasik China yang asalnya berlapis-lapis, sarat dengan sulaman benang emas dan sutera, kini masih boleh dilihat dengan diubahsuai mengikut peredaran masa dan kesesuaian. Jubah Labuh, Cheongsam, Baju Shanghai dan Samfoo kekal dipakai di dalam majlis dan upacara. Kebanyakannya masih dihasilkan dari negeri China menggunakan pabrik sutera dan broked yang berwarna terang dengan ragamhias benang emas dan perak.

Bahasa Bahasa China lisan terdiri daripada sebilangan dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa Mandarin baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman Republik China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil yang nyata dalam memupuk satu bahasa seragam di China. Pada zaman kuno, bahasa China Klasik menjadi standard penulisan selama beribu-ribu tahun, tetapi banyak terhad kepada golongan sarjana dan cendekiawana. Menjelang abad ke-20, jutaan rakyat, termasuk yang di luar kerabat diraja

Kesimpulan :

Perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Salah satu kesulitan utamanya adalah perbedaan karakteristik kedua bangsa: bangsa Jepang relatif homogen, sedangkan bangsa Indonesia sangat heterogen.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.

Makalah IBD

MAKALAH
Ilmu Budaya Dasar
"Merumuskan Nilai-Nilai Budaya yang Menjadi Keunggulan Bangsa Indonesia"


Dibuat Oleh :
Arjuna Cesa A (51415029)
Kelas 1IA08

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Dosen : Edi Fakhri


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang masih memberikan saya nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul “Merumuskan nilai budaya yang menjadi keunggulan Bangsa Indonesia”. 

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar Dalam makalah ini membahas tentang Merumuskan nilai budaya yang menjadi keunggulan Bangsa Indonesia. Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

BAB I 
Pendahuluan 

Budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu hanya bias dicetuskan manusia sesudah suatu proses belajar. Guna keperluan analisis,konsep tersebut dipecah kedalam unsur-unsur  universal yaitu :
  •     Bahasa
  •     Kesenian
  •     Sistem mata pencaharian hidup
  •     Sistem teknologi dan peralatan
Banyak hal-hal maupun cara untuk tetap mempertahankan makna dari kebudayaan itu sendiri. Dalam makalah ini saya akan membahas dan merumuskan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi keunggulan Bangsa Indonesia berdasarkan Buku Karya Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.

BAB II
            Isi dan Pembahasan

Hal-hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah beberapa repleks yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri seperti makan, minum, dan sebagainya. Adapun unsur-unsur universal yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia adalah :
  1. Sistem pengetahuan
  2. Bahasa
  3. Kesenian
  4. Sistem mata pencaharian hidup
  5. Sistem teknologi dan peralatan
Koentjaraningrat pun berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai sedikitnya tiga wujud, yaitu :

  1. Wujud kebudayaan sebaai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, dan berada dalam pikiran setiap warga. Bila pikiran itu dituangkan dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan itu berada dalam karangan buku-buku hasil karya penulis. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau adat, atau adat istiadat yang berfungsi mengatur, mengendalikan, member arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujudnya sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Maksudnya kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena seluruh total dari hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling kongkret dan berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu sama lain. Kebudayaan ideal dan kebudayan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatan dan mempengaruhi cara berpikirnya.

Adapun menurut Koentjaranigrat kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Sedangkan, adat adalah wujud ideal dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan.

Dalam kebudayaan dikenal pranata kebuadayaan. Adapun pranata itu mengenai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola dapat dirinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya serta peralatannya ditambah dengan manusia atau personal yang melakukan kelakuan berpola itulah yang merupakan suatu pranata. Dalam buku ini, dijelaskan perbedaan antara adat sebagai wujud kebudayaan dan hukum adat. Sifat dasar dari hukum adat dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu : 
  1. Golongan yang pertama beranggapan bahwa dalam masyarakat yang terbelakang tidak ada aktivitas hukum. Anggapan itu disebabkan karena para ahli antropologi menyempitkan definisi tentang hukum itu pada aktivitas-aktivitas hukum yang ada pada masyarakat yang maju saja. Dipandang dari sudut itu maka aktivitas hukum akan berupa suatu sistem penjagaan tata tertib masyarakat yang bersifat memaksa. Untuk itu, hukum perlu disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan yang diorganisir oleh suatu negara. Apabila dalam suatu masyarakat terbelakang tak ada suatu sistem yang dapat disamakan dengan itu, maka dalam masyarakat itu memang tidak ada sistem hukumnya.
  2. Golongan kedua tidak mengkhususkan definisi tentang hukum, tetapi hanay kpada hukum dalam masyarakat bergnegara dengan suatu sostem alat-alat kekuasaan saja. Menurut antropolog terkenal B. Malinowski, berdasarkan beragamnya masyarakat dan kebudayaan di dunia maka semua aktivitas kebudayaan itu berfungsi untuk memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia. Adapun diantara berbagai macam aktivitas kebudayaan itu ada yang mempunyai fungsi memenuhi hasrat naluri manusia untuk secara timbal balik memberi kepada dan menerima dari sesamany, berdasarkan prinsip yang oleh Malinowsi disebut principle of reciprocity. Di antara aktivitas-aktivitas kebudayaan yang berfungsi serupa itu termasuk hukum sebagai unsur kebudayaan yang universal.
Mengenai mentalitas pembangunan, Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa sebelum benar-benar mengerti apa itu mentalitas pembangunan kita harus terlebih dahulu dengan jelas mengetahui bentuk masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dengan pembangunan. Suatu mentalitas yang bermutu tinggi dan ketelitian itu sebenarnya memerlukan suatu orientasi nilai budaya yang bernilai tinggi dari karya manusia.

Suatu nilai semacam itu apabila diekstrimkan akan ada bahaya ke arah individualisme dan lebih bahaya lagi mengarah ke isolisme. Dalam hal membicarakan kelemahan-kelemahan dalam mentalitas kita untuk pembangunan, perlu dibedakan antara dua hal yaitu :
  1. Konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran kita. Mengendap dalam alam pikiran kita karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu.
  2. Konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan kita yang baru timbul sejak zaman revolusi dan yang sebenarnya tidak bersumber pada sistem nilai budaya kita.
    Sifat-sifat kelemahan yang bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas adalah sifat mentalitas yang meremehkan mutu, sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Koentjaraningrat mengadakan koreksi-koreksi tentang negara kita, yaitu :
  1. Negara kita belum mempunyai konsepsi nasional yang jelas mengenai masyarakat seperti apa yang ingin dituju dengan usaha pembangunan kita dan ingin dibawa ke arah manakah demokrasi kita.
  2. Ada beberapa sifat dari nilai individualisme yang kurang dikembangkan karena terhambat oleh nilai-nilai gotong royong.
  3. Hilangnya nilai-nilai hidup rohaniah.
  4. Munculnya sistem komunisme yang berusaha menghancurkan sistem keluarga demi kemajuan ekonomi.
  5. Masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup.
Nilai-Nilai Budaya yang Menjadi Keunggulan Bangsa Indonesia :
  1.    Semangat Gotong-RoyongBangsa ini, menurut Pembukaan UUD 1945 memiliki berbagai keunggulan yang menjadikan bangsa ini berbeda dan unggul dari negara lainnya. Salah satu keunggulan dari warga bangsa ini adalah, masyarakat Indonesia terkenal dengan gotong royong. Konsep dari gotong royong bukanlah sekedar pada setiap bulan masayarakat yang berkumpul di suatu komunitas, seperti pedesaan melakukan kerja bakti dan menghiasi perkampungannya ketika akan datang hari kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu, konsep gotong royong adalah satu solusi arif untuk memecahkan masalah kebangsaan yang mendera negara ini. Akan tetapi semangat gotong royong dari tahun ke tahun seperti memudar beriringan dengan kemajuan zaman dan terlibatnya negara ini pada persaingan dunia dalam kerangka globalisasi. Maka mengembalikan semangat gotong royong ke dalam jiwa setiap insane bangsa ini adalah suatu hal yang penting. Gotong royong dapat menjadi jalan demi mengembalikan jati diri bangsa ini yang semakin tergerus oleh paham-paham liberalisme, hedonisme, dan paham-paham lainnya yang bersifat individualistik.

  2.     Ramah, Santun dan Sopan Masyaakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah, murah senyum dan sangat sopan dalam menyapa dan menghadapi siapapun yang datang ke Indonesia. Tidak heran sangat banyak tourist asing yang senang akan perlakuaan pribumi ketika mereka mengunjungi Indonesia. Tentulah hal ini menjadi daya tarik sendiri bagi para pengunjung itu sehingga mereka tidak menyesal atang ke Indonesia dan cukup mampu menguntungkan Indonesia. Pasalnya, kehadiran mereka ke Indonesia ini cukup menambah pemasukkan Negara dengan bertambahnya jumlah wisatawan yang hadir ke Indonesia. Seperti simbiosis mutualisme, ramahnya masyarakat Indonesia menguntungkan bagi Bangsa Indonesia sendiri dan juga orang yang dikenai perlakuan. Namun sekarang ini, rasa ramah,sopan dan santun itu mulai memudar. Tidak adanya kesadaran dan kekuatan diri dalam menjaga hal-hal tersebut membuat kepribadian bangsa Indonesia ini mulai luntur.
  3.     Ketuhanan (Religiusitas) Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya.
  4. Kemanusiaan (Moralitas) Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal.

  5. Persatuan (Kebangsaan) Indonesia Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dari dunia luar.

  6. Permusyawaratan dan Perwakilan Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan.

  7. Keadilan Sosial Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan,  serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik, dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya


BAB III
           Penutup


Kesimpulan : 

Buku Koentjaraningrat ini diakhiri dengan membedakan antara agama, religi, dan kepercayaan. Ia menggunakan istilah religi untuk istilah agama. Karena menurutnya, memakai istilah religi adalah netral dan menghindari istilah agama yang bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Nilai budaya yang menjadi keunggulan untuk Bangsa Indonesia sendiri adalah nilai budaya yang telah melekat pada jati diri Bangsa Indonesia yaitu sifat gotong royong.